Aku lupa kapan pertama kali aku akrab dengan dirinya dan yang aku ingat kita sama-sama duduk dalam satu kepengurusan disalah satu kegiatan sosial saat itu, tiga tahun yang lalu. Aktivis yang sama-sama mencintai alam, dia Harry, dan saat itu pula kami dipertemukan. Kecintaanku kepada gunung dan pantai menjadi kegiatanku menghabiskan masa cuti dan juga libur panjang. Harry laki-laki yang bermata sipit saat tersenyum itu menjadi pendamping saat aku mendaki atau berjalan menyusuri pantai. Dia itu juga pintar dalam hal fotografi tapi sayangnya dia tidak pernah mau mengambil momen saat aku mendaki atau juga diving. Aku nggak pernah tahu apa yang dia potret. Saat aku ingin sekali meminjam kamera canggihnya, dia hanya memberi kamera poket yang notabene aku pasti bisa mengambil gambar dari situ.
Harry lelaki yang kadang-kadang membuat aku senyaman-nyamannya kalau lagi eling dan juga bisa membuat aku kesal disaat yang tidak pernah terduga. Harry seorang lelaki bertubuh langsing dan berjambang itu ternyata dekat sekali dengan ibunya, alias anak mami panggilan kerennya. Sebulan berkenalan dengannya, dia itu adalah orang yang paling sering membuat aku kesal kalau lagi kumpul bersama teman-teman aktivis. Paling cuek kalau lagi temu kangen sesama pemanjat tebing. Tapi aku nggak pernah menyangka kalau dia adalah orang yang super perhatian kalau elingnya lagi tumbuh. Aku nggak pernah tahu kepribadian aslinya. Seperti saat malam itu, kita melanjutkan trip ke gunung selanjutnya. Tahu kan bahwa memang gunung itu akan mengalami puncak dingin pada malam hari. Hari itu Harry memberikan segelas jeruk panas dan jaket super tebal. Susah ditebakkan? Dia menyuruhku untuk menunjuk satu bintang yang paling terang menurutku. Ya Tuhan ada apa ini?
Selalu saja seperti itu, setiap perjalananya menghadirkan kerinduan dan kenangan. Wajahnya bisa saja berubah-ubah setiap hari. Bisa mendadak menjadi riang dan menyenangkan dan bisa juga menjadi sangat jail dan menyebalkan. Setiap pagi bahunya menjadi sandaran kepalaku saat terbangun dari tidur. Setiap pagi pula kami selalu bermain2 dengan udara sekitar, mencoba menyemburkan nafas perlahan untuk membuat asap dan seperti berada di dalam film-film korea.
“eh liat gue bisa ngeluarin asap, asap yang sempurna keluar dari mulut gue”.
“gue juga bisa kali dis”. Dia berjalan sambil memegang erat tanganku.
Perlahan suasana itu semakin hangat. Bermain dengan indahnya dan sejuknya udara pegunungan ditambah dengan kehangatan yang jarang kita nikmati sebelumnya. Sempurna seperti matahari pagi ini, sinarnya takkan akan memandang siapa yang lebih bahagia atau siapa yang lebih terpuruk, tapi membaginya rata. Aku seperti tokoh kartun dengan gaun panjang bermakhota dan dikawal oleh para ajudan yang senantiasa ada, aku seperti perempuan yang sempurna. Menjadikan bahunya sebagai sadaranku disaat aku membutuhkannya. Telinganya menjadi tempat untuk mendengar semua keluh kesahku. Tangannya yang selalu jadi pengenggam yang hangat saat aku merasakan kedinginan. Semua begitu sempurna. Sesempurna mata ini melihat keindahan disekitar puncak gunung. Sempat aku bermimpi I wanna grow old with you, Harry. Ya Tuhan mana mungkin, puncak ini terlalu istimewa untuk aku hanyut dalam suasana dan bermimpi. Puncak ini terlalu banyak bersaksi tentang keakraban aku dan Harry. Sepanjang hari keakraban ini terjalin, seperti aku takkan merasakan saat gunung ini meletus atau bahkan gempa bumi, karena aku berada di samping Harry.
***
Harry lelaki yang ku kenal hampir empat tahun ini ternyata menyimpan rapat semua ini dari aku. Aku nggak pernah tahu siapa yang menjadi pilihannya. Lelaki berjambang itu besok akan menikah, meninggalkan aku dengan sejuta kenangan dari atas bumi dan juga dasar bumi ini. Aku tidak pernah tahu dan tidak pernah mencari tahu tentang ini. Malam itu dia hanya berkata:
“Terima kasih sudah menemani sepanjang tahun berganti. Ini perjalanan dan takkan pernah tahu sampai kapan dan apa yang akan terjadi, sama seperti kita yang sanggup menaklukkan gunung-gunung ini. Aku takkan pernah tahu apakah kita akan kembali lagi ke sini atau selamanya di sini. Ijinkan aku menikahnya besok, dis. Maafkan aku”
“Jadi kamu mengajakku kesini sebagai pendakian terakhir bersamaku? Setelah sekian lama kamu menemaniku mendaki setiap gunung? Memberi tahuku tentang ini?”
Harry lelaki yang kadang-kadang membuat aku senyaman-nyamannya kalau lagi eling dan juga bisa membuat aku kesal disaat yang tidak pernah terduga. Harry seorang lelaki bertubuh langsing dan berjambang itu ternyata dekat sekali dengan ibunya, alias anak mami panggilan kerennya. Sebulan berkenalan dengannya, dia itu adalah orang yang paling sering membuat aku kesal kalau lagi kumpul bersama teman-teman aktivis. Paling cuek kalau lagi temu kangen sesama pemanjat tebing. Tapi aku nggak pernah menyangka kalau dia adalah orang yang super perhatian kalau elingnya lagi tumbuh. Aku nggak pernah tahu kepribadian aslinya. Seperti saat malam itu, kita melanjutkan trip ke gunung selanjutnya. Tahu kan bahwa memang gunung itu akan mengalami puncak dingin pada malam hari. Hari itu Harry memberikan segelas jeruk panas dan jaket super tebal. Susah ditebakkan? Dia menyuruhku untuk menunjuk satu bintang yang paling terang menurutku. Ya Tuhan ada apa ini?
Selalu saja seperti itu, setiap perjalananya menghadirkan kerinduan dan kenangan. Wajahnya bisa saja berubah-ubah setiap hari. Bisa mendadak menjadi riang dan menyenangkan dan bisa juga menjadi sangat jail dan menyebalkan. Setiap pagi bahunya menjadi sandaran kepalaku saat terbangun dari tidur. Setiap pagi pula kami selalu bermain2 dengan udara sekitar, mencoba menyemburkan nafas perlahan untuk membuat asap dan seperti berada di dalam film-film korea.
“eh liat gue bisa ngeluarin asap, asap yang sempurna keluar dari mulut gue”.
“gue juga bisa kali dis”. Dia berjalan sambil memegang erat tanganku.
Perlahan suasana itu semakin hangat. Bermain dengan indahnya dan sejuknya udara pegunungan ditambah dengan kehangatan yang jarang kita nikmati sebelumnya. Sempurna seperti matahari pagi ini, sinarnya takkan akan memandang siapa yang lebih bahagia atau siapa yang lebih terpuruk, tapi membaginya rata. Aku seperti tokoh kartun dengan gaun panjang bermakhota dan dikawal oleh para ajudan yang senantiasa ada, aku seperti perempuan yang sempurna. Menjadikan bahunya sebagai sadaranku disaat aku membutuhkannya. Telinganya menjadi tempat untuk mendengar semua keluh kesahku. Tangannya yang selalu jadi pengenggam yang hangat saat aku merasakan kedinginan. Semua begitu sempurna. Sesempurna mata ini melihat keindahan disekitar puncak gunung. Sempat aku bermimpi I wanna grow old with you, Harry. Ya Tuhan mana mungkin, puncak ini terlalu istimewa untuk aku hanyut dalam suasana dan bermimpi. Puncak ini terlalu banyak bersaksi tentang keakraban aku dan Harry. Sepanjang hari keakraban ini terjalin, seperti aku takkan merasakan saat gunung ini meletus atau bahkan gempa bumi, karena aku berada di samping Harry.
***
Harry lelaki yang ku kenal hampir empat tahun ini ternyata menyimpan rapat semua ini dari aku. Aku nggak pernah tahu siapa yang menjadi pilihannya. Lelaki berjambang itu besok akan menikah, meninggalkan aku dengan sejuta kenangan dari atas bumi dan juga dasar bumi ini. Aku tidak pernah tahu dan tidak pernah mencari tahu tentang ini. Malam itu dia hanya berkata:
“Terima kasih sudah menemani sepanjang tahun berganti. Ini perjalanan dan takkan pernah tahu sampai kapan dan apa yang akan terjadi, sama seperti kita yang sanggup menaklukkan gunung-gunung ini. Aku takkan pernah tahu apakah kita akan kembali lagi ke sini atau selamanya di sini. Ijinkan aku menikahnya besok, dis. Maafkan aku”
“Jadi kamu mengajakku kesini sebagai pendakian terakhir bersamaku? Setelah sekian lama kamu menemaniku mendaki setiap gunung? Memberi tahuku tentang ini?”
Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ya Tuhan aku tak pernah melihat hal ini terjadi. Harry, lelaki berjambang itu menangis dan memelukku erat. Ini melebihi rasanya menaklukan tiga gunung sekaligus, padahal yang ku bayangkan adalah dia menyatakan perasaannya padaku dan ingin menikahiku. Hallo, rasanya seperti turun dari paralayang dan berteriak, “Aku Bahagia, Tuhan” tapi sepertinya Tuhan punya rencana lain.
Angin berhembus sangat kencang itu menambah dramatis cerita ini. Ada selembar seperti kertas tepat melewati wajahku dan terjatuh. Foto wajahku saat mendaki puncak ini. Ternyata dia dan aku menyimpan rapat semua ini. Aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padanya dan mulai hari ini akan ku hapus semua rasa ini untuk Harry. Puncak gunung ini benar-benar menyaksikan atas apa yang semua terjadi antara aku (Gadis) dan Harry. Di atas puncak ini aku berjanji, membiarkanmu bahagia.
Angin berhembus sangat kencang itu menambah dramatis cerita ini. Ada selembar seperti kertas tepat melewati wajahku dan terjatuh. Foto wajahku saat mendaki puncak ini. Ternyata dia dan aku menyimpan rapat semua ini. Aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padanya dan mulai hari ini akan ku hapus semua rasa ini untuk Harry. Puncak gunung ini benar-benar menyaksikan atas apa yang semua terjadi antara aku (Gadis) dan Harry. Di atas puncak ini aku berjanji, membiarkanmu bahagia.
sempet mikir ini curhatan dedep, jd buru2 scroll k bawah, ga baca detil.hahahaha.. keren dep :)
BalasHapushahaha :p
BalasHapustapi makasih udah mau baca kang :')
Jangan sampe kejadian deh kang, miris :))
hihihi...kirain dari kisah nyata pemilik blog yg curhat,hehe..
BalasHapus:"> cukup indah,gunungnya dingin brrrr... kayaknya asik kalo backsoundnya itu lagu brunomars yang when i was your man :")
eh, ini mah cuma sharing aja yak. alangkah lebih baik kalo dedeph baca ulang lagi tulisannya buat rewrite dan edit biar tanda bacanya ketahuan dan jd lbh nyaman dibaca oleh pembaca awam sepertiku... (^^)v
but terlepas dari itu,asik! aku juga ingin membuat cerpen kayak gitu
thanks ady buat saran dan masukkannya :D
BalasHapusaq juga masih awam dalam menulis, mari belajar bersama >.<
sedih teh.. :'( Tapi keren :)
BalasHapusani :")
BalasHapuskereenn ceritanya deph,, mungkin lebih dipersimpel lagi, biar mudahh di mengertii :)
BalasHapustapii kereeenn!
makasih dini..
BalasHapusga enak dong endingnya cepet :p
Sedih banget, sy pernah di posisi yang sama. Pengen banget lupa, tapi sampe saat ini kesulitan banget. Penuturannya asyik :)
BalasHapusmakasih ya teh risma.. Baru belajar menulis yang baik.. ajarin akuu ya :D
BalasHapusahh itu emang sedih banget, jgn sampe terjadi :(