Jumat, 09 Mei 2014

,

Saya "pun" menolak Ujian Nasional

Berawal dari beberapa postingan teman atau share mengenai ujian nasional dari tingkat Sekolah Menengah pertama (SMP) dan juga Sekolah Menengah Atas (SMA), rasanya sungguh memilukan. Apakah dengan ada Ujian Nasional (UN), adik-adik kita mampu menjadi orang yang pintar atau "tidak manja"? Pintarnya dari segi apa dan tidak manja dari segi apa. Tangan saya rasanya sudah gatal untuk menuliskan ini blog, rasa kecewa dan kesedihan saya mungkin yang mendorong saya mencurahkan isi hati saya. Ada suatu blog/web tentang UN>  http://tolakujiannasional.com/ yang membahas tentang UN, curhatan hati murid-murid dan kejadian-kejadian yang menurut saya itu miris. Beginilah nasib pendidikan Indonesia. Banyak kata-kata yang menurut saya tidak dipikirkan terlebih dahulu pada salah satu pidato Pak Menteri, salah satunya "Kami Tidak Ingin Anak-anak Menjadi Manja". Apakah dengan UN bisa membuat anak menjadi tidak manja? Bukannya manja itu salah satu bentukan/ didikan dari kemandirian, Pak? Apakah soal UN yang mudah membuat anak menjadi manja? Maka dibuatlah soal UN yang sulit yang ada diantaranya soal Plagiat?

Saya terus berpikir ini kesalahan Pak Menteri atau kesalahan adik-adik kita yang tidak cukup pintar menjawab semua soal UN. Setiap tahun masih saja banyak adik-adik kita yang tidak lulus dan banyak dari mereka adalah siswa berprestasi. Itu bukan karena mereka tidak pintar, ini masalah Psikologis yang mereka tidak sanggup dibendung. Tekanan-tekanan tentang UN sudah mereka dapatkan jauh sebelum UN berlangsung. Masalah ini lah yang menjadi pemicu ketakutan mereka tidak lulus, soal yang begitu sulit, nilai standar kelulusan yang makin tinggi dan mengakibatkan korban seperti bunuh diri ataupun stress. Tak ada bocoran soal, ujian yang semakin sulit, dituntut untuk jujur, diawasi oleh para petinggi UN yang membuat mereka semakin tertekan batin, lalu yang ada soal pun tak bisa dijawab. Banyak yang menyatakan bahwa percuma bimbel full satu bulan nyatanya saya tidak bisa mengerjakannya karena soal pertama saja sudah sulit! Nah.... Bagaimana dengan ini? 

Mungkin kita bisa bercermin dari negara-negara lain yang punya standar kelulusan yang tidak tinggi tapi menghasilkan anak-anak bangsa yang cerdas atau sebaliknya mereka punya standar tinggi tapi fasilitas mereka juga tinggi. Sepatutnya melihat seperti itu, bukan karena keegoisan pemimpin-pemimpin yang tidak atau belum merasakan semakin kejamnya pendidikan Indonesia. Kita masih butuh anak-anak bangsa yang cerdas dan memiliki psikologis yang baik. Mencerdaskan anak bangsa bukan dengan soal UN yang sulit, nilai ujian yang semakin tinggi, dan lain lain. Pertanyaan saya, "Apakah Bapak-bapak sekalian mampu mengerjakan soal UN tersebut dalam waktu 2-2,5 jam?" Pertanyaan saya kedua, mengapa pada soal UN ada hal-hal politik. Membawa nama tokoh saat ini dan partai saat ini? Apa tidak ada soal yang lebih berbobot dari itu? Sudah kehabisan ide kah? Pendidikan kita ingin maju tapi apakah fasilitas yang diberikan sudah lebih baik? Apakah anak-anak dipenjuru Indonesia sudah mendapatkan pendidikan, ilmu-ilmu yang lebih baik? Apakah mereka masih harus menyebrangi sungai puluhan meter hanya untuk mendapatkan ilmu yang lebih baik dari orang tuanya? Apakah semua itu sudah terpenuhi?

Saya pernah merasakan berada diposisi mereka disaat semua orang berubah wajahnya, semakin tegang, tanpa senyum, tangan penuh keringat, dan gelisah tak menentu. Saat itu hanya tiga mata pelajaran yang diujikan tapi rasanya seperti menghadapi jurang, pilihannya hanya ada dua, jatuh atau mencari cara agar bisa turun tanpa harus terjatuh. Dengan standar yang 4,25 rata-rata setiap mata pelajaran saja sudah deg-degan luar biasa. Apakah saya lulus atau tidak? dan menurut saya soalnya cukup sulit. Pikiran saya hanyalah saya sudah berusaha dan berdoa, tinggal nasib saya yang menentukan apakah lulus atau tidak. Ketika dinyatakan SMA saya lulus 100% girangnya luar biasa, saya tidak lagi melihat berapa rata-rata ujian saya, apakah ada yang merah atau tidak. Walau saya tahu ini berat ketika semua nilai teman-teman bagus tapi saya tidak. Buat saya toh masuk Perguruan Tinggi masih harus seleksi lagi dan tidak memandang nilai UN. Harapan saya ketika saya masuk bangku kuliah saya bisa menunjukkan bahwa UN bukan penghambat masa depan saya, tapi pecutan saya untuk lebih baik. Menunjukkan kepada orang tua yang kecewa bahwa saya bisa lulus jadi sarjana dan mendapat pekerjaan yang baik, karena saya tidak pernah malu ada nilai merah di rapot atau hasil ujian saya. Setiap anak punya kelebihan dan kekurangan mengenai mata pelajaran. Jangan memaksa mereka untuk bisa tapi berilah pengertian kalau kita rajin setidaknya kita lebih maju dari biasanya, misalnya matematika atau bahasa Inggris. Dulu saya berpikir, lemah pada mata pelajaran matematika setidaknya saya mempelajari lebih dalam tentang Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang bisa menopang nilai yang lemah menjadi naik. 

Semakin tingginya standar soal UN di Indonesia, saya #pun menolak Ujian Nasional. Seharusnya bantu adik-adik kita untuk menjadi generasi yang cerdas bukan generasi yang tertekan. Bukan hanya generasi muda yang pintar menghapal tapi generasi yang mampu menganalisis, memahami dan berkembang. Bantu mereka meringkankan beban bukan menjadi korban. Pendidikan ini menjadi tugas semua orang termasuk saya sebagai generasi muda. Minimal saya memberikan ilmu yang saya pelajari kepada mereka tanpa pamrih, mencoba menjadi guru walau bukan guru, membantu sekuat hati dan membantu mereka untuk tetap tersenyum menghadapi UN. 

-dedeph-
Bdg, 9/5/14

0 coment�rios:

Posting Komentar

thanks ya sudah mengunjungi blog saya ;)