Selasa, 18 Maret 2014

Cerpen: Yang Tersimpan

Satu bulan sudah berlalu. Masih saja gue belum mendengar kabar terbaru tentang dia. Bukan maksud gue kepo*, tapi sungguh gue pengen tahu tentang dia. Kamu tahu kan selama ini kita nggak pernah bisa lepas dari yang namanya whatsapp, telepon dan juga sms-an. Gue tahu, gue sibuk begitu juga dengan kamu. Kamu bilang dalam satu bulan mendatang, kamu bakalan sibuk banget dan gue harus mengetahui tentang itu. Kita memang tidak memiliki hubungan yang spesifik atau lebih tepatnya saling memiliki. Namun, gue dan kamu itu seperti sahabat dan bahkan lebih dari sahabat tanpa ada ikatan apapun. Gue sibuk dengan urusan marketing di perusahaan provider dan kamu sibuk menjadi teknisi di perusahaan minuman yang selalu berpindah-pindah.
Selama bertahun-tahun kita dekat, gue tahu kamu, begitupun sebaliknya. Bertukar pikiran mengenai pekerjaan bahkan urusan pribadi. Rasanya nggak ada rasa canggung diantara kita. Semenjak memutuskan untuk fokus, semenjak itu komunikasi kita mulai memudar. Ngga ada kata sempat untuk membalas sms, memiss call balik dan juga mereply whatsapp. Biasanya setiap hari whatsapp itu nggak pernah berhenti sampai malam hari dan menutup percakapan dengan “good nite” and “sleep tight”.
“Selamat malam, aska. Good nite”
“Gue lagi di Jakarta, ada beberapa urusan yang harus gue kerjakan. Loe lg ngapain?”
“Nyantai aja, nonton dvd yang lanjutan dari film yang kita nonton waktu itu”.
“Hahaha, akhirnya beli juga. Selamat nonton deh ya. Lusa gue bakal ke Kalimantan buat nyelesain proyek disana, nggak tahu kapan balik ke Bogor”.
“Oke deh, kabar-kabari gue ya. Jangan lupa oleh-olehnya, ha ha.”
Percakapan itu selalu berakhir dengan good nite. Mungkin bagi sebagian besar orang, itu sih kata-kata yang biasa banget diucapkan, tapi bagi gue itu sih lebih dari biasa aja. Biasanya saat gue sampai kantor atau sebelum meeting whatsapp gue munculin pesan dari Dean biasa gue memanggilnya,  hello good morning and good luck. Nah, belakangan ini gue kehilangan itu. Sebenernya gue sendiri nggak ngerti tentang apa yang gue rasain saat ini. Gue nggak jatuh cinta sama dia, nggak menaruh hati tapi gue cuma berharap gue dan dia baik-baik saja. Gue nyaman sama dia bukan hanya karena dia memang dua tahun lebih tua dari gue, tapi dia itu care about me. Dan yang nggak bisa lepas dari pandangannya itu adalah his smile, dia itu punya lesung pipit sebelah kanan. Ya ampun, sebiasa-biasanya lelaki tetep aja lesung pipit itu menambah kegantengan tersendiri.
            Waktu itu dia pernah sms gue.
            “Eh, gue di Kalimantan nih. Gile panas banget. Selamat bekerja ya”.
Gue waktu itu nggak sempet bales sampe akhirnya gue lupa bales smsnya dia. Hanya sebatas gue tahu dia dimana dan dia ngabarin ke gue lebih dari cukup. Setiap pagi dia message gue, lagi-lagi gue hectic sama kerjaan gue. Suatu hari gue Cuma bales,
            “hello, lagi banyak kerjaan banget. Need some vacation after this”
Dan dia Cuma bales “someday”.
Semenjak hari itu dan berhari-hari berlalu gue nggak pernah lagi dapet kabar tentang dia. Hanya memantaunya lewat social media yang memang saling follow. Gue berharap suatu saat kembali suasana itu kembali terjalin. Menjalin hubungan baik selama bertahun-tahun itu nggak gampang dan tahukan jika hubungan itu diantara laki-laki dan juga perempuan. Sekuat apapun menjalin dengan baik, diantara keduanya ada menaruh hatinya. Kita nggak pernah tahu dan yakin. Suatu waktu gue berdoa kepada Tuhan.
“Ya Tuhan seandainya gue masih lama di dunia ini dan gue harus memilih jodoh gue. Dekatkanlah gue dan dia selalu. Jika engkau memilihkan yang lain, jangan biarkan kami berpisah jarak dan jangan biarkan kami saling jatuh cinta.”
Sejak saat itu gue berpikir, gue nggak pernah berdoa untuk meminta dia menjauh dari gue, tapi kita tidak memiliki intensitas waktu yang banyak seperti dulu.  Atau mungkin dia meminta kepada Sang Kuasa dengan doa yang berbeda? Entahlah hanya dia dan Tuhan yang saling mengetahui.

***
Berbulan-bulan berlalu, hanya sebatas itu saja entah karena memang sudah tidak respect atau memang sibuk gue tetep masih nggak mengerti. Sampai saat ini gue dan dia sama-sama menyimpan rasa saling jatuh cinta dan nggak ada satupun diantara orang terdekat kami yang mengetahuinya.
            Tepat bulan ini gue harus meninggalkan Indonesia, dua hari lagi gue bakal terbang ke Canberra. Gue belum ngabarin keputusan ini ke Dean. Semenjak hubungan ini merenggang, gue nggak mau banyak lagi melukis di kanvas yang sama dengan dia. Gue memilih untuk memberitahukannya satu hari sebelum keberangkatan gue.  Gue memilih Canberra selain karena pekerjaan, biar deket dengan Indonesia, seandainya gue harus ngeliat dia kan lebih deket ha ha. 
“Hello Dean, sorry gue ngabarin kamu mendadak. Besok lusa gue bakal ninggalin Indonesia, gue harus pergi ke Canberra. Aku nggak pernah tahu apa gue bakal kembali atau bakal menetap disana. Gue berangkat penerbangan sore dari Jakarta. Sebenarnya gue pengen ketemu deh sama loe, kangen-kangenan, jalan-jalan bareng, nonton bareng dan ketawa-ketawa lagi bareng loe. Kerjaan ini bikin kita gila ya.. haha.. But, next time kali ya. Kabarin loe ya kalau kamu mau ke sana. Anytime gue ada buat loe. Good Nite and Selalu semangat ya”
Itu yang gue tulis di sebuah pesan singkat dan whatsapp ke Dean. Gue nggak berharap dia membalas semuanya. Setidaknya dia tahu gue mau kemana dan ada dimana saat dia butuhin gue. Gue Cuma nunggu takdir dari Tuhan aja, karena gue selalu berdoa agar Tuhan tidak menjauhkan kami dan tetap menjadi seperti dulu. Rasanya memang seperti sinetron yang kejar-kejaran mendapatkan kepastian, apa gue jatuh cinta atau nggak dan apakah dia jatuh cinta atau nggak.

***
Kepergian gue ke Canberra itu seberat gue merindukan atas apa yang gue dan dia jalanin selama ini, tanpa ikatan tanpa kepastian. Tapi gue yakin suatu saat semua ini terjawab. Gue seorang marketing yang selalu jadi tepuk tangan peserta meeting saat gue presentasi tentang produk-produk yang gue tawarkan, tapi gue nggak sanggup kalau harus presentasi tentang hati gue ke dia. Seperti itu juga dia, seorang yang teknisi yang mungkin juga nggak mampu mengetahui seberapa dalam kerusakaan atau gangguan yang terjadi dalam hatinya. Gue berusaha untuk tetap jadi gue yang selalu menyenangkan di matanya.
“Aska, sorry gue baru sempet bales whatsapp lo. Loe kenapa tiba-tiba harus pindah ke Canberra? Ada apa? Sorry kalau gue terlalu sibuk sama kerjaan gue, maklum hhehe


Itu pesan sebelum gue mematikan handphone saat pesawat ini mau take off. Gue hanya membaca dengan membayangkan lesung pipitnya yang indah. Gue mematikan handphone dan kemudian gue memejamkan mata sambil membayangkan apa sudah dan pernah terjadi. *Take Off*

http://7heblacksheep.blogspot.co.id/

0 coment�rios:

Posting Komentar

thanks ya sudah mengunjungi blog saya ;)